MUTU DAN PRODUKTIVITAS KERJA TEORI, ARUS PERUBAHAN DAN KECENDERUNGAN SERTA PENGEMBANGAN KONSEP DITINJAU DARI SISI AGAMA, PSIKOLOGI DAN SOCIAL BUDAYA



MUTU DAN PRODUKTIVITAS KERJA
TEORI, ARUS PERUBAHAN DAN KECENDERUNGAN SERTA PENGEMBANGAN KONSEP DITINJAU DARI SISI AGAMA, PSIKOLOGI DAN SOCIAL BUDAYA

 Oleh : Faizal Djabidi

BAB 1
PENDAHULUAN




  1. Latar Belakang Masalah
Manajemen Mutu Terpadu sangat populer di lingkungan organisasi profit, khususnya di lingkungan berbagai badan usaha/perusahaan,  industry dan pendidikan, yang telah terbukti keberhasilannya dalam mempertahankan dan mengembangkan eksistensinya masing-masing dalam kondisi bisnis yang kompetitif.
 Kondisi seperti ini telah mendorong berbagai pihak untuk mempraktekkannya di lingkungan organisasi non profit termasuk di lingkungan lembaga pendidikan.
Dari segi lembaga pendidikan yang dimaksud dengan pendidikan bermutu menurut Dedi Mulyasana ( 2012:120) mampu melakukan proses pematangan kualitas peserta didik yang dikembangkan dengan cara membebaskan peserta didik dari ketidaktahuan, ketidakmampuan, ketidakberdayaan, ketidakbenaran, ketidakjujuran, dan dari buruknya akhlak dan keimanan
Menurut Hadari Nawari (2005:46) Manajemen Mutu Terpadu adalah manajemen fungsional dengan pendekatan yang secara terus menerus difokuskan pada peningkatan kualitas, agar produknya sesuai dengan standar kualitas dari masyarakat yang dilayani dalam pelaksanaan tugas pelayanan umum (public service) dan pembangunan masyarakat (community development). Konsepnya bertolak dari manajemen sebagai proses atau rangkaian kegiatan mengintegrasikan sumber daya yang dimiliki, yang harus di integrasi pula dengan tahapan pelaksanaan fungsi – fungsi manajemen, agar terwujud kerja sebagai kegiatan memproduksi sesuai yang berkualitas. Setiap pekerjaan dalam manajemen mutu terpadu harus dilakukan melalui tahapan perencanaan, persiapan (termasuk bahan dan alat), pelaksanaan teknis dengan metode kerja/cara kerja yang efektif dan efisien, untuk menghasilkan produk berupa barang atau jasa yang bermanfaat bagi masyarakat.
Untuk dapat mencapai kualitas produk yang baik dan sesuai dengan kebutuhan pelanggan perusahaan harus mampu hanya menghasilkan produk yang sesuai dengan keinginan pelanggan. Untuk mewujudkan perlu suatu filosofi untuk menghilangkan pemborosan. Selain itu, usaha menghasilkan produk yang bermutu hanya dapat dicapai bila proses bermutu dapat dicapai. Perbaikan-perbaikan yang dapat dilakukan penghematan di berbagai bidang hanya dapat dilakukan dalam suatu proses yang berlangsung panjang dan terus menerus dan berkesinambungan
Menurut Oemar Hamalik (2010) Manajemen merupakan alat untuk mencapai tujuan yang diinginkan dan manajemen yang baik akan memudahkan terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan, dan masyarakat dengan manajemen daya guna dan hasil guna unsur-unsur manajemen akan ditingkatkan dan adapun unsur –unsur manajemen itu terdiri dari : Man, Money, Method, Machines, Materials, dan Market
Sedangkan mengenai pengertian mutu beberapa pakar telah mencoba mendefinisikannya Secara umum, seperti yang dikemukakan oleh empat guru mutu, yaitu:
1.      Philip B. Crosby (1978) Crosby berpendapat bahwa mutu berarti kesesuaian terhadap persyaratan, seperti jam tahan air, sepatu yang tahan lama, dan dokter yang ahli. Ia juga mengemukakan pentingnya melibatkan setiap orang dalam proses organisasi. Pendekatan Crosby merupakan proses top-down.
2.      W. Edwards Deming (1986) Deming berpendapat bahwa mutu berarti pemecahan masalah untuk mencapai penyempurnaan terus-menerus, seperti penerapan Kaizen pada perusahaan Toyota dan gugus kendali mutu pada perusahaan Telkom. Pendekatan Deming merupakan proses bottom-up.
3.      Joseph M. Juran (1992) Juran berpendapat bahwa mutu berarti kesesuaian dengan penggunaan, seperti sepatu yang dirancang untuk olahraga dan sepatu kulit yang dirancang untuk ke kantor atau ke pesta. Pendekatan Juran merupakan proses yang berorientasi pada pemenuhan harapan dari pelanggan.
4.      K. Ishikawa (1992) Ishikawa berpendapat bahwa mutu berarti kepuasan pelanggan. Dengan demikian, setiap bagian proses dalam organisasi memiliki pelanggan. Kepuasan pelanggan internal akan menyebabkan kepuasan pelanggan organisasi. Definisi mutu menurut ISO 9000:2000 adalah “derajat/tingkat karakteristik yang melekat pada produk yang mencukupi persyaratan/keinginan”. Derajat di sini berarti selalu ada peningkatan setiap saat, sedangkan karakteristik berarti hal-hal yang dimiliki produk, yang terdiri dari karakteristik fisik, perilaku, dan sensori.
Setelah mengetahui beberap definisi tentang mutu tidak kalah pentingnya kita juga harus mengetahui produktivitas kerja karena mutu banyak berafiliasi atau berhubungan dengan produktivitas kerja, mutu yang meningkat diakibatkan produktivitas kerja yang sempurna
Pengertian produktivitas sebenarnya menyangkut aspek yang luas, yaitu modal (termasuk lahan), biaya, tenaga kerja, energi, alat, dan teknologi.
Secara umum, produktivitas merupakan perbandingan antara keluaran (output) yang dicapai dengan masukan (input) yang diberikan. Produktivitas juga merupakan hasil dari efisiensi pengelolaan masukan dan efektivitas pencapaian sasaran. Efektivitas dan efisiensi yang tinggi akan menghasilkan produktivitas yang tinggi.
Menurut Sinungan (2000:12) produktivitas kerja adalah suatu perbandingan antara hasil keluaran dan masukan atau output : input. Masukan sering dibatasi dengan masukan tenaga kerja, sedang keluaran diukur dalam kesatuan fisik bentuk dan nilai. Produktivitas adalah nilai output dalam hubungan input tertentu, produktivitas biasanya dunyatakan sebagai imbangan dari hasil kerja rata – rata dalam hubungannya dengan jam rata – rata dari tenaga kerja yang diberikan dalam proses tertentu. Jadi hasil kerja yang dicapai (produktivitas kerja) adalah target di dapat melalui kualitas kerja para pegawai melakukan tugasnya yang sesuai dengan waktu yang ditentukan ketepatan
Jadi pengertian  produktivitas kerja itu sendiri adalah hubungan antara keluaran atau hasil organisasi dengan yang diperlukan. Produktivitas dapat dikuantifikasikan dengan membagi keluaran dengan masukan. Menaikan produktivitas dapat dilakukan dengan memperbaiki rasio produktivitas, dengan menghasilkan lebih banyak keluaran atau output yang lebih baik dengan tingkat masukan sumber daya tertentu
Tapi kenyataan dilapangan untuk menciptakan mutu yang berkualitas dan produktivitas kerja yang sempurna sangat sulit dilakukan karena banyak kendala atau hambatan teknis maupun non teknis
Oleh karena itu, maka upaya peningkatan kualitas, untuk menciptakan dan menuju produktivitas kerja sesungguhnya harus dilakukan secara komprehenship dan sinergis dengan melibatkan seluruh ranah secara terpadu. Disamping dilakukan melalui pendekatan manajerial melalui pembentukan sistem mutu, juga harus menyentuh pada ranah psiko-filisofis pada pembangunan budaya mutu pada seluruh elemen organisasi atau lembaga. Pendek kata, perbaikan mutu tidak dapat dilakukan secara parsial. Ia membutuhkan pendekatan sistem secara integral dan komprehenship




  1. Rumusan Masalah
1.      Pengertian dan Teori Mutu dan Produktivitas Kerja
2.      Arus perubahan dan Kecenderungan Mutu dan produktivitas Kerja
3.      Pengembangan Konsep Mutu dan Produktivitas Kerja ditinjau dari sisi Agama, Psikologi dan social Budaya

  1. Tujuan Penulisan
1.      Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan adalah untuk mendeskripsikan tentang Mutu dan Produktivitas Kerja dikaji dari Teori, Arus Perubahan dan kecenderungan serta Pengembangan Konsepnya ditinjau dari sisi Agama, Psikologi dan Social Budaya

2.      Tujuan Khusus
Tujuan Khusus yang ingin diperoleh dari penulisan ini adalah
1)      Pengertian dan Teori Mutu dan Produktivitas Kerja
2)      Arus perubahan dan Kecenderungan Mutu dan Produktivitas Kerja
3)      Pengembangan Konsep Mutu dan Produktivitas Kerja ditinjau dari sisi Agama, Psikologi dan social Budaya


BAB II
PEMBAHASAN

  1. Konsep Mutu dan Produktivitas Kerja

1.      Konsep Mutu
Dalam pengertian umum, menurut Akhmad Sudrajat (2009) mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa; baik yang tangible maupun yang intangible
Mutu atau kualitas saat ini menjadi satu gagasan ideal dan menjadi visi banyak orang ataupun lembaga. Karena mutu memang merupakan kualifikasi utama agar dapat survive dan tampil sebagai pemenang dalam kehidupan yang semakin kompetitif pada masyarakat yang semakin rasional. Namun demikian, untuk dapat memahami apa itu mutu ternyata ada banyak persepsi yang berbeda di masyarakat. Ketika diajukan konsep mutu, maka yang muncul kemudian adalah gambaran tentang segala hal yang “baik” dan “sempurna” dan oleh karena itu maka pasti sulit dipenuhi dan mahal. Gambaran ini sesungguhnya tidak salah, meskipun juga tidak terlalu tepat. Oleh karenanya, elaborasi berbagai definisi mutu dari para pakar kiranya akan membantu kita dalam memahami konsep mutu
Landasan teori tentang mutu yang digunakan sebagai dasar dalam penulisan ini diutarakan oleh para ahli  (Hadis dan Nurhayati, 2010: 84) yaitu:
a.       Crosby (1979: 58) mutu ialah conformance to requirement, yaitu sesuai dengan yang disyaratkan atau distandarkan.
b.      Deming (1982: 176) mutu ialah kesesuaian dengan kebutuhan pasar atau konsumen.
c.       Juran (1993), mutu produk ialah kecocokan  penggunaan produk (fitness for use) untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan.
Dari definisi mutu oleh para ahli di atas, maka mutu merupakan kesesuaian dengan yang distandarkan dan sesuai dengan kebutuhan pelanggan. Dengan kata lain kualitas suatu barang atau jasa yang sesuai dengan standarisasi yang berlaku umum dan dapat memenuhi serta memuaskan pelanggan atau konsumen. Jadi jelasnya, barang atau jasa dikatakan bermutu adalah yang dapat memberikan kepuasan baik bagi pelanggan maupun produsennya.
Pengertian manajemen mutu terpadu atau biasa disebut dengan Total Quality Management (TQM) menurut Nasution (2005: 28) merupakan: “sistem manajemen yang berfokus pada semua orang/tenaga kerja bertujuan terus menerus meningkatkan nilai yang diberikan bagi pelanggan dengan penciptaan nilai yang lebih rendah daripada nilai suatu produk”. Hal senada di atas pengertian TQM juga diungkapkan oleh Koswara dan Triatna (dalam Suhardian, 2011: 295) merupakan: “sebuah konsep yang mengaplikasikan berbagai prinsip mutu untuk menjamin suatu produk barang/jasa memiliki spesifikasi mutu sebagaimana ditetapkan secara menyeluruh dan berkelanjutan”. Sedangkan konsep TQM menurut Bounds (Nasution, 2005:  28) mengandung tiga unsur yaitu:
1)      Strategi nilai pelanggan; merupakan perencanaan bisnis untuk memberikan nilai bagi pelanggan termasuk karakteristik produk, cara penyampaian, pelayanan dan sebagainya.
2)      Sistem organisasional; berfokus pada penyediaan nilai bagi pelanggan yang mencakup tenaga kerja, material, mesin/teknologi proses, metode operasi dan pelaksanaan kerja, aliran proses kerja, arus informasi, dan pembuatan keputusan.
3)      Perbaikan kualitas berkelanjutan; diperlukan untuk menghadapi lingkungan eksternal yang selalu berubah, terutama perubahan selera pelanggan.
Edward Sallis juga menjelaskan bahwa ada dua konsep mutu yang bisa diajukan. Pertama,  mutu absolute, yakni pencapaian standar tertinggi dalam suatu pekerjaan, produk, atau layanan yang tidak mungkin di lampaui lagi karena telah mencapai “kesempurnaan”. Penjelasan ini kemudian memunculkan persepsi bahwa mutu itu selalu berkait dengan “banyak dan mahal” dan menjadi kebanggaan bagi yang mencapainya. Bagi yang tidak mampu memperoleh yang banyak dan mahal tersebut, maka tidak akan dapat mencapai mutu.. Padahal dalam kenyataannya tidak selalu demikian. Kedua;  mutu relatif. Mutu dalam pengertian relatif adalah kualitas yang masih ada peluang untuk ditingkatkan. Kualitas relatif ini mempunyai dua aspek pengukuran. (1) Pengukuran berdasarkan spesifikasi perencanaan, sebagaimana konsep Global Alliance for Transnational Education yang dikutip oleh Hari Suderajat  bahwa mutu adalah “meeting or fulfilling requirements, often referred to as fitness for purpose. (2) Pengukuran terhadap pemenuhan dan tuntutan pelanggan, “Performance to the standard expected by the customer and meeting the customers needs the first time and every time”. 
Dari definisi di atas dapat difahami bahwa konsep mutu memang merupakan konsep dinamis. Membuat  rumusan yang pasti (exact) kiranya tidak akan cukup membantu, sebagai mana disinggung oleh Sallis “Quality is a dynamic idea and exact definitions are not particularly helpful. Dalam perspektif Total Quality Management (TQM), kualitas bukan hanya merupakan suatu inisiatif, melainkan juga filosofi dan metodologi yang membantu lembaga untuk mengelola perubahan secara totalitas dan sistemik, sehingga terjadi perubahan paradigma, visi, misi dan juga tujuan

2.      Konsep Produktivitas Kerja
Produktivitas merupakan suatu istilah yang sering digunakan dalam perencanaan pengembangan industri pada khususnya dan perencanaan pengembangan ekonomi nasional pada umumnya. Sedangkan pengertian produktivitas dapat dilihat dari dua dimensi. Yaitu dimensi individu dan dimensi keorganisasian. Dimensi individu melihat produktivitas dalam kaitannya dengan karakteristik-karakteristik kepribadian individu yang muncul dalam bentuk sikap mental dan mengandung makna  keinginan dan upaya individu yang selalu berusaha untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Sedangkan dimensi keorganisasian melihat produktivitas dalam kerangka hubungan teknis antara masukan (input) dan keluaran (output). Oleh karena itu dalam pandangan ini , terjadinya tingkat produktivitas tidak hanya dilihat dari aspek kuantitas tetapi juga aspek kualitas baik dari produknya maupun dari tenaga kerja yang memproduksi.
Ada beberapa konsep produktivitas dijelaskan oleh para ahli diantaranya Ravianto (1989: 18) sebagai berikut:
1)      Produktivitas adalah konsep universal, dimaksudkan untuk menyediakan semakin banyak barang dan jasa untuk semakin banyak orang dengan menggunakan sedikit sumber daya.
2)      Produktivitas berdasarkan atas pendekatan multidisiplin yang secara efektif merumuskan tujuan rencana pembangunan dan pelaksanaan cara-cara produktif dengan menggunakan sumber daya secara efektif dan efisien namun tetap menjaga kualitas.
3)      Produktivitas terpadu menggunakan keterampilan modal, teknologi manajemen, informasi, energi, dan sumber daya lainnya untuk mutu kehidupan yang mantap bagi manusia melalui konsep produktivitas secara menyeluruh.
4)      Produktivitas berbeda di masing-masing negara dengan kondisi, potensi, dan kekurangan serta harapan yang dimiliki oleh negara yang bersangkutan dalam jangka panjang dan pendek, namun masing-masing negara mempunyai kesamaan dalam pelaksanaan pendidikan dan komunikasi.
5)      Produktivitas lebih dari sekedar ilmu teknologi dan teknik manajemen akan tetapi juga mengandung filosofi dan sikap mendasar pada motivasi yang kuat untuk terus menerus berusaha mencapai mutu kehidupan yang baik.
Sinungan (1995: 18) menjelaskan produktivitas dalam beberapa kelompok sebagai berikut :
1)      Rumusan tradisional bagi keseluruhan produksi tidak lain adalah ratio apa yang dihasilkan (output) terhadap keseluruhan peralatan produksi yang digunakan.
2)      Produktivitas pada dasarnya adalah suatu sikap mental yang selalu mempunyai pandangan bahwa mutu kehidupan hari ini lebih baik dari pada kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini.
3)      Produktivitas merupakan interaksi terpadu serasi dari tiga faktor esensial, yakni : Investasi termasuk pengetahuan dan tekhnologi serta riset, manajemen dan tenaga kerja.
Peningkatan produktivitas merupakan dambaan setiap perusahaan dan pendidikan, produktivitas mengandung pengertian berkenaan denagan konsep ekonomis, filosofis, produktivitas berkenaan dengan usaha atau kegiatan manusia untuk menghasilkan barang atau jasa yang berguna untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia dan masyarakat pada umumnya. Sebagai konsep filosofis, produktivitas mengandung pandangan hidup dan sikap mental yang selalu berusaha untuk meningkatkan mutu kehidupan dimana keadaan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan mutu kehidupan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Hal ini yang memberi dorongan untuk berusaha dan mengembangkan diri. Sedangkan konsep sistem, memberikan pedoman pemikiran bahwa pencapaian suatu tujuan harus ada kerja sama atau keterpaduan dari unsur-unsur yang relevan sebagai sistem.
  1. Arus perubahan dan Kecenderungan Mutu dan produktivitas Kerja

Setiap organisasi atau lembaga baik itu pendidikan maupun perusahaan berkeinginan untuk terus meningkatkan mutu dan produktivitas kerjanya, kalau di sector pendidikan kepala sekolah berusaha untuk meningkatkan kualitas lulusan peserta didiknya dengan cara bimbingan belajar serta memacu produktivitas gurunya dengan proses kegiatan belajar mengajar di sekolah pada jam formal maupun informal, melakukan try out, kajian ilmiah dan lainnya
Dalam rangka peningkatan mutu dan Produktivitas kerja, maka pemimpin pendidikan haruslah memahami budaya-budaya yang telah ada dalam organisasinya sebelum melakukan perubahan-perubahan menuju ke arah perbaikan, sebagaimana disampaikan oleh para ahli diantaranya:
1)      Selalu mengidentifikasi perubahan-perubahan yang dibutuhkan, perlu diketahui bahwa biasanya budaya suatu organisasi sangat menentukan bagaimana orang-orang di dalam organisasi tersebut berperilaku, menanggapi masalah, dan saling berinteraksi. Untuk mengetahui apakah suatu organisasi telah memiliki budaya mutu, maka perlu dilakukan penilaian secara komprehensif apakah organisasi yang bersangkutan telah memiliki karakteristik-karakteristik budaya mutu, seperti:
a)      Komunikasi yang terbuka dan terus menerus
b)      Kemitraan internal yang saling mendukung
c)      Pendekatan kerjasama tim dalam proses dan dalam mengatasi masalah
d)     Obsesi terhadap perbaikan atau inovasi terus menerus
e)      Pelibatan dan pemberdayaan sumberdaya manusia secara luas
f)       Menginginkan masukan dan feedback dari stakeholders


2)      Menuliskan perubahan-perubahan yang direncanakan, dimana penilaian komprehensif terhadap budaya organisasi yang ada saat ini biasanya akan mengidentifikasi perbaikan-perbaikan yang perlu dilakukan. Perbaikan ini membutuhkan perubahan-perubahan dalam status quo. Perubahan-perubahan ini harus diidentifikasi dan didaftar karena akan menjadi bahan kajian guna melakukan perbaikan-perbaikan.
3)      Mengembangkan suatu rencana untuk melakukan perubahan, dimana rencana untuk melakukan perubahan dikembangkan berdasarkan model “siapa”,”apa”,”kapan”, “dimana”, dan “bagaimana”. Masing-masing elemen ini merupakan bagian penting dari rencana. Dimana “siapa” yang akan dipengaruhi perubahan tersebut? siapa yang harus dilibatkan agar perubahan tersebut dapat berhasil? siapa yang mungkin menentang adanya perubahan?. Sementara tugas “apa” saja yang harus diselesaikan? apa yang menjadi hambatan utama? proses dan prosedur apa yang akan dipengaruhi perubahan tersebut? Selanjutnya “kapan” perubahan itu harus dilaksanakan? kapan perkembangannya harus diukur? kapan tugas-tugas yang berhubungan dengan perubahan itu harus diselesaikan? kapan pelaksanaannya dirampungkan? Begitu juga “dimana” perubahan itu harus dilaksanakan? orang dan proses mana yang akan dipengaruhi? Dan “bagaimana” perubahan itu seharusnya dilaksanakan? bagaimana pengaruhnya terhadap orang dan proses yang ada saat ini? bagaimana pengaruhnya terhadap peningkatan kualitas, produktivitas, dan daya saing?
4)      Memahami proses transisi emosional, karena perlu diketahui bahwa pendukung perubahan memainkan peranan penting dalam pelaksanaan perubahan. Keberhasilan pelaksanaan tersebut sangat tergantung pada kemampuan para pendukung perubahan didalam memainkan peranannya. Mereka harus memahami fase-fase transisi emosional yang dilewati seseorang bila menghadapi perubahan, terutama perubahan yang tidak diharapkan. Transisi ini terdiri atas tujuah fase, yaitu goncangan (shock), penolakan (denial), realisasi (realization), penerimaan (acceptance), pembangunan kembali (rebuilding), pemahaman (understanding), dan penyembuhan (recovery). Sehingga bisa mengakomodir dan mengarahkan kondisi emosional ini untuk siap menerima perubahan yang diinginkan.
5)      Mengidentifikasi orang-orang kunci dan menjadikan mereka pendukung perubahan. Orang kunci adalah orang-orang yang dapat mempermudah pelaksanaan perubahan dan orang-orang yang dapat menghambat pelaksanaan perubahan tersebut. Orang kunci harus diidentifikasi, dilibatkan, dan diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat dan permasalahannya. Agar bisa diketahui apa-apa saja yang diinginkan dan tidak diinginkan dalam perubahan.
6)      Menerapkan hearts and minds approach, karena biasanya pada awalnya orang yang cenderung bereaksi terhadap setiap perubahan lebih banyak berdasarkan level emosionalnya (hearts) daripada level intelektualnya (mind). Oleh karena itu para pendukung perubahan perlu menerapkan strategi komunikasi yang rutin dan terbuka. Setiap orang diberi kesempatan (termasuk penentang yang paling ekstrim) untuk menyampaikan persoalan dan keberatannya dalam forum terbuka. Kemudian keberatan tersebut dijawab dengan objektif, sabar, dan tidak bersifat pembelaan atau menepiskan.
7)      Menerapkan strategi courtship (kemesraan). Courtship merupakan tahap dimana suatu hubungan berjalan secara lamban tetapi berarti, ke arah yang diharapkan. Bila pendukung perubahan menganggap hubungannya dengan penentang potensial sebagai hubungan yang mesra, maka mereka akan dapat melibatkan para penentang tersebut dengan lebih baik dan akhirnya dapat mengubah mereka menjadi pendukung perubahan.
8)      Memberikan dukungan, dimana strategi ini meliputi dukungan material, moral, dan emosional yang dibutuhkan orang dalam menjalani perubahan
Makna kualitas dipertimbangkan pula dari sisi memenuhi persyaratan yang dituntut oleh pelanggan. Pandangan ini didasarkan oleh alasan sederhana bahwa penilai akhir dari mutu adalah kastemer, dan tanpa mereka lembaga tidak ada. Dalam kajian manajemen mutu terpadu (total quality management), produk yang hanya memenuhi standar yang ditetapkan produsen tidak menjamin dalam penjualan. Oleh karena itu, lembaga harus menggunakan berbagai cara untuk menyelidiki atau mempelajari persyaratan-persyaratan pelangan atau Customer, kemudian menterjemahkannya ke dalam produk atau layanan baru yang inovatif.
Seiring dengan semakin tingginya tingkat persaingan, maka manajemen sebuah perusahaan atau pendidikan mulai mengidentifikasi kekuatan sumber daya dan tata kerja inovatif. Artinya penanganan mutu secara menyeluruh dilakukan dengan melibatkan semua pihak yang terkait mulai dari hulu sampai hilir, mencakup semua proses yang dilakukan sesuai standar mutu (quality control), penjaminan mutu (quality assurance), ke arah  peningkatan mutu berkelanjutan (continuous quality improvement) 
Dari paparan konsep diatas dapat diintisarikan bahwa arus perubahan dan kecenderungan mutu dan produktivitas kerja itu kedepannya akan lebih spesifik penuh tantangan dan persaingan hanya orang yang berkualitas dan produktif yang dapat mengikuti arus global perubahan dan mengikuti MEA. Dari segi lembaga hanya yang sudah lolos verifikasi melalui proses penjaminnan mutu yang didalamnya terdapat standar, prosedur input proses dan hasil atau produk ditopang dengan produktivitas kerja yang berkualitas
Dalam era persaingan yang berkembang amat ketat setiap lembaga dipaksa berhadapan dengan lembaga lainnya dalam arena persaingan. Semua lembaga umumnya berkeinginan untuk dapat tampil yang terbaik guna menarik perhatian pasar.
Menurut Dedi Mulyasana ( 2012:185 ) dalam persaingan boleh jadi setiap lembaga melakukan berbagai hal guna memenangkan persaingan mungkin ada yang menggunakan cara cara yang kotor dan ada pula yang menggunakan cara cara yang baik dalam memenangkan persaingan
Bagi lembaga yang menggunakan cara yang kotor dimungkinkan karena tidak berkualitas dan berdaya saing minim tenaga yang ahli dan tidak produktif sedangkan lembaga yang menggunakan cara yang baik kemungkinan besar lembaga tersebut sudah sesuai dengan standar mutu atau kualitas dan ditopang dengan sumberdaya manusia yang mumpuni atau produktif dalam melaksanakan tugasnya sehinga menjadi lembaga yang siap berdaya saing untuk meningkatkan lembaga dan personal menuju era globalisasi

  1. Pengembangan Konsep Mutu dan Produktivitas Kerja ditinjau dari sisi Agama, Psikologi dan social Budaya
1.      Mutu dan produktivitas kerja dari sisi Agama
Ajaran Islam selain menempatkan prinsip kebebasan pada tempat yang begitu sentral untuk mengejar tujuan kedunia -wian, juga mengharuskan umat Islam bekerja secara etik menurut norma yang secara garis besar telah disuratkan dan siratkan dalam Al-Quran dan hadis. Beberapa dari norma tersebut merupakan bagian rangkaian sistem yang mewajibkan manusia untuk bekerja keras. Islam sebagai rahmatan li al-â’lamîn, memberikan sumber-sumber normatif yang berkaitan dengan kerja, nilai kerja, dan etos kerja.Etos kerja harus didasarkan pada tiga unsur, tauhid, taqwa, dan ibadah.Tawhîd akan mendorong bahwa kerja dan hasil kerja adalah sarana untuk men-Tawhidkan Allah SWT. sehingga terhindar dari pemujaan terhadap materi.Taqwa adalah sikap mental yang mendorong untuk selalu ingat, waspada,dan hati-hati memelihara dari noda dan dosa, menjaga keselamatan dengan melakukan yang baik dan menghindari yang buruk. Se-dangkan ibadah adalah melak-sanakan usaha atau kerja dalam rangka beribadah kepada Allah SWT., sebagai perealisasian tugas khalîfah fî al-ardl, untuk menjaga mencapai kesejahteraan dan ketentraman di dunia dan akherat
Secara teoritis, menurut Acep Mulyadi (2008:5) pengkajian dan penelitian tentang relasi antara agama secara umum dengan Produktivitas kerja atau etos kerja ini memang melahirkan satu teori ilmu besar (grand theory) yang disebut teori fungsional. Teori ini berpandangan bahwa fungsi agama adalah mendukung dan meles-tarikan masyarakat yang sudah ada. Karena itu, agama bersifat fungsional terhadap persatuan dan solidaritas sosial.
Islam meng-ajarkan bahwa setiap orang dituntut untuk bekerja atau berusaha dan memanfaatkan rezeki pemberian Allah Swt. (Qs. Al-Mulk [67] 5).”...apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung ” (Qs. Al-Jumu’ah [62]: 10), menunjukkan bahwa Islam menghendaki adanya etos kerja dan produktivitas kerja yang tinggi bagi umatnya dalam memenuhi keinginannya,bukan semata-mata berdoa. Bahkan untuk memotivasi etos kerja umatnya, Rasulullah Saw. Bersabda ”Makanan yang paling baik dimakan oleh seseorang adalah hasil usaha tangannya sendiri ”(HR. Bukhari)
Dari paparan diatas bahwa al-quran dan al-hadits sebenarnya lebih konkrit dan lebih dulu menerangkan tentang mutu dan produktivitas kerja daripada teori-teori dan konsep-konsep dari para ahli yang ada sekarang ini. Nyatanya al-quran dan al-hadits sebagai pedoman umat islam telah menerangkan dengan detil perihal mutu dan produktivitas sampai ke akar-akarnya





2.      Mutu dan produktivitas kerja dari sisi Psikologi
Menurut Sinungan (1997) secara umum produktivitas diartikan sebagai hubungan antara hasil nyata dengan pemasukan yang sebenarnya. Greenberg (dalam Sinungan, 1997) mendefinisikan produktivitas kerja sebagai perbandingan antara totalitas pengeluaran pada waktu tertentu dibagi totalitas masukan selama periode tersebut.Ravianto (1985) mendevinisikan produktivitas kerja sebagai ukuran efisiensi yang menggunakan modal, material, peralatan, manajemen, SDM, infrmasi, dan waktu untuk menhasilkan barang seta jasa.
Menurut Tambunan (2001), produktivitas kerja adalah efisiensi proses menghasilkan dari sumber daya yang dipergunakan. Produktivitas kerja oleh Hadi Pranata (1996) diartikan sebagai gabungan antara unsur efektivitas, efisiensi, dan kepuasaan kerja yang mengandung volume produktif, hemat masukan serta optimalis kepuasan kerja secara manusiawi.
Putra (1990) menjelaskan bahwa produktivitas kerja adalah jumlah output yang dihasilkan seseorang secara utuh dalam satuan waktu kerja yang dilakukan. Ini meliputi kegiatan yang efektif dalam mencapai hasil atau prestasi kerja, yang bersumber (input) dari penggunaan bahan secara efisien. Produktivitas perusahaan merupakan kemampuan untuk menghasilkan barang dan atau jasa dengan sumber daya atau faktor-faktor produksi yang dimiliki. Produktivitas adalah kinerja yang menghasilkan lebih banyak dan berkualitas lebih baik dengan usaha yang sama.
Sedangkan dari sudut pandang psikologi, produktivitas menunjukkan pada perilakusebagai keluaran (out put) dari suatu proses berbagai macam komponen kejiwaan yang membelakangainya (Anoraga, 1995). Seorang tenaga kerja dikatakan produktif jika ia mampu menghasilkan keluaran (output) yang lebih banyak dari tenaga kerja lain untuk satuan waktu yang sama.


3.      Mutu dan produktivitas kerja dari sisi Sosial Budaya
Program kualitas kehidupan kerja telah dipandang sebagai suatu cara untuk meningkatkan mutu dan produktivitas serta meningkatkan kualitas output  pengambilan keputusan. Kualitas kehidupan kerja mencakup aktivitas-aktivitas yang ada di dalam organisasi, yang dinyatakan dengan tujuan untuk meningkatkan suatu kondisi tertentu, sehingga berpengaruh terhadap  pengalaman karyawan (employee’s experience) dalam organisasi dan tenaga pendidik serta kependidikan dalam sekolah. Kondisi-kondisi yang dimaksud adalah: (a) keamanan, (b) keadilan, (c) pilihan-pilihan  perorangan/individu, (d) partisipasi dalam pengambilan keputusan, (e) keamanan dan kesehatan, (f) kesempatan untuk berkembang, (g) pekerjaan- pekerjaan yang berarti, (h) kemampuan mengendalikan waktu dan tempat, (i) perlindungan dari perlakuan tidak adil, dan (j) kesempatan untuk memuaskan kebutuhan sosial.Secara sederhana produktivitas dapat diartikan sebagai perbandingan antara output (keluaran) dengan input (masukan). Produktivitas berarti kemampuan menghasilkan sesuatu. Sedangkan kerja berarti kegiatan melakukan sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah mata pencaharian.  Intinya lembaga atau organisasi yang dibangun dengan iklim atau suasana budaya  yang nyaman dan penuh kekeluargaan akan menambah prroduktivitas dan mutu dalam peningkatan etos kerja. Produktivitas kerja adalah kemampuan menghasilkan suatu kerja yang lebih  banyak daripada ukuran biasa yang telah umum diiringi dengan mutu sesuai dengan standar atau proses yang ada. Secara teknis produktivitas adalah suatu perbandingan antara hasil yang dicapai (out put) dengan keseluruhan sumber daya yang diperlukan (input). Produktivitas mengandung pengertian perbandingan antara hasil yang dicapai dengan peran tenaga kerja persatuan waktu.


ü   Anoraga dan Suyati. 1991. Psikologi Industri dan Psikologi Sosial. Jakarta: Pustaka Jaya
ü  Acep Mulyadi; Islam dan Etos Kerja: Relasi Antara Kualitas Keagamaan dengan Etos Produktivitas Kerja (Jurnal TURATS Vol 4 no 1 2008 )
ü  Akdon. 2007. Strategic Management for Educational Management (Manajemen Strategik)
ü  Dedi Mulyasana,2012  Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing, Bandung : Remaja Rosda Karya
ü  Hadari Nawawi; Manajemen Strategik, Gadjah Mada Pers : Yogyakarta, 2005
ü  Hanafiah, M. Jusuf, dkk, 1994. Pengelolaan Mutu Total Pendidikan Tinggi, Badan  Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri
ü  Malayu S.P. Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia (Jakarta: Bumi Aksara, 2000
ü  Melayu S.P Hasibuan, Organisasi Dan Motivasi, Dasar Peningakatan Produktivitas, Bumi Aksara Putra, Jakarta, 1996.
ü  Muchdrasah Sinungan, Pruduktitas, Apa Dan Bagaimana, Bumi Aksara, Jakarta, 2000
ü  Nasution, MN, 2000. Manajemen Mutu Terpadu, Ghalia Indonesia, Jakarta
ü  Ravianto, Produktivitas dan Pengukuran, Cetakan I, Lembaga Sarana Informasi Usaha dan Produktivitas, Jakarta, 1986
ü  Salis, Edward (Penerjemah D.C.Kambey dan E.S.Kambey) (2004). Total Quality Management
ü  Sudrajat,Akhmad (2009). Manajemen Kepala Sekolah Dalam Pelayanan Publik (Artikel Jurnal UPI Bandung). Universitas Pendidikan Indonesia Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar